
Kebijakan Pemerintah dalam Mewujudkan Swasembada Gula Nasional
Presiden ke-7 RI, Jokowi, telah menunjukkan keinginan politik yang kuat untuk mewujudkan swasembada gula nasional. Hal ini dilakukan melalui penerbitan Peraturan Presiden No. 40/2023 dan Keputusan Presiden No. 15/2024. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin ketahanan pangan nasional, ketersediaan bahan baku industri, meningkatkan kesejahteraan petani tebu, serta mendorong penggunaan energi bersih melalui bahan bakar nabati.
Peraturan Presiden No. 40/2023 berisi strategi dan pedoman untuk percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Sementara itu, Keputusan Presiden No. 15/2024 membentuk Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol. Satuan tugas ini diatur melalui mekanisme PSN/Kawasan Ekonomi Khusus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Ketua Satgasnya adalah Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, sementara anggota pelaksana termasuk Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke.
Road Map Percepatan Swasembada Gula Nasional
Road map percepatan swasembada gula nasional memiliki target-target yang sangat ambisius. Pertama, produktivitas tebu harus mencapai 93 ton per hektare (ha). Kedua, areal kebun tebu akan ditingkatkan sebesar 700.000 ha. Ketiga, rendemen tebu dinaikkan sebesar 11,2%. Target-target ini menjadi indikator penting dalam proses menuju tercapainya pemenuhan kebutuhan gula konsumsi atau gula kristal putih (GKP) pada tahun 2028 dan kebutuhan gula nasional seluruhnya, termasuk gula industri (GKR), pada tahun 2030.
Dukungan pemerintah terhadap program ini sangat serius. Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM memberikan izin lahan pengembangan kebun tebu terintegrasi dengan pabrik gula (PG) kepada 10 perusahaan seluas kurang lebih 541.000 ha di Merauke. Menariknya, kesepuluh perusahaan ini hanya terafiliasi dengan dua konglomerat sawit. Hal ini terkonfirmasi saat Presiden Jokowi menghadiri penanaman perdana tebu PT Global Papua Abadi, didampingi oleh Martua Sitorus dan Martias Fangiono.
Progres Pembukaan Lahan dan Tantangan Investor
Meski pemerintah bergerak cepat dalam membagi-bagi konsesi lahan Merauke, progres dari investor pelaku usaha perkebunan tebu dan pabrik gula belum seimbang. Hingga saat ini, progres pembukaan lahan PT Global Papua Abadi sudah mencapai 17.374 ha dari total konsesi 35.372 ha. Sementara PT Murni Nusantara Mandiri baru mencapai 5.023 ha dari luas konsesi 30.579 ha. Delapan perusahaan lain belum menunjukkan progres signifikan.
Tampaknya, diperlukan upaya khusus dan imbauan keras untuk mempercepat investasi. Dua konsorsium saat ini tidak cukup untuk merealisasi pencapaian swasembada. Perlu tambahan konsorsium agar target dapat tercapai. Membangun perkebunan tebu terintegrasi dengan PG tidak kalah patriotik dibanding membangun kelapa sawit dengan PKS-nya yang menjadikan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia.
Simulasi Swasembada Gula Nasional
Swasembada gula nasional secara sederhana diartikan sebagai kondisi di mana suatu negara dapat memproduksi sendiri gula untuk memenuhi seluruh kebutuhan nasional, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri. Produksi dalam negeri harus minimal mencapai 90% dari total konsumsi nasional.
Jika program ini benar-benar berjalan, maka swasembada gula kristal putih (GKP) atau gula konsumsi bisa tercapai pada tahun 2028. Dengan investor yang "gercep", setidaknya dua PG dengan kapasitas 830.000 ton dapat dibangun dalam waktu 4 tahun. Dengan simulasi ini, pasokan GKP akan mengalami surplus sebesar 400.000 ton terhadap kebutuhan gula konsumsi yang diproyeksikan sebesar 2,9 juta ton pada 2028.
Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana surplus 400.000 ton GKP tersebut akan digunakan. Apakah akan diekspor? Mari kita lihat riwayat ide awal tentang swasembada. Pengertian swasembada harus merujuk pada dua premis: pertama, kebutuhan gula nasional (GKP dan GKR) harus dipenuhi oleh produk dalam negeri. Kedua, kebutuhan GKR selama ini dipenuhi oleh pabrik gula fafinasi yang bahan bakunya berasal dari impor GKM, bukan GKR.
Dari kedua premis ini, logikanya adalah bahwa apa yang diimpor maka itulah yang harus diproduksi dalam negeri (substitusi impor). Jika yang diimpor adalah GKM, maka yang diproduksi oleh pabrik gula di Merauke juga harus berupa GKM. Dengan demikian, surplus 400.000 ton GKP harus diproduksi dalam bentuk GKR atau GKM, yang setara dengan kebutuhan satu pabrik fafinasi setahun.
Dampak Swasembada Gula Nasional
Pencapaian swasembada gula konsumsi pada 2028 akan menjadi "game changer" bagi ekosistem pergulaan yang lebih solid dan stabil. Tidak lagi ada impor GKP, sehingga tidak diperlukan surat persetujuan impor raw sugar untuk GKP. Yang tersisa hanyalah impor raw sugar untuk gula industri. Jika swasembada gula nasional tercapai pada 2030, pabrik rafinasi existing hanya akan membeli raw sugar dari Merauke.
Meski terkesan menyederhanakan, pengertian swasembada gula nasional seharusnya mencakup semua kebutuhan GKP dan GKR yang diproduksi oleh PG dalam negeri. Hal ini sejalan dengan premis bahwa apa yang diimpor maka itulah yang harus diproduksi dalam negeri (substitusi impor). Pabrik rafinasi dalam berproduksi tidak punya pilihan selain menggunakan bahan baku raw sugar produksi dalam negeri. Yang terpenting, PG baru di Merauke harus mampu menghasilkan raw sugar dengan biaya produksi yang efisien.
0 Response to "Opini: Swasembada Gula dan Masa Depan Rafinasi Nasional"
Posting Komentar