
Pengantar dan Pemetaforan Demokrasi Zombi
Ernest Holivil, seorang dosen muda dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Nusa Cendana (Undana), mengumpulkan serpihan opini yang pernah dipublikasikan di berbagai media menjadi sebuah buku dengan judul “Demokrasi Zombi”. Buku ini mencoba menjelaskan realitas demokrasi Indonesia melalui dua aspek utama: pertama, demokrasi yang diboikot oleh kompromi, mirip sindikat nepotisme untuk merimbukan oligarki. Kedua, praktik korupsi yang tidak hanya memperparah kemiskinan rakyat, tetapi juga semakin dianggap sebagai "berkat Tuhan" atau bahkan menjadi "kelumrahan sosial".
Sebagai antologi opini, buku ini menjadi tikar besar tempat Ernest Holivil menyuarakan masalah sosial seperti korupsi, kesewengan, pelemahan hukum, pembangkrutan institusi negara, pemilu bagi orang berdompet, dan lain-lain. Namun, satu hal yang terasa menyakitkan adalah bahwa akhirnya masyarakat menerima masalah itu bukan lagi sebagai masalah, melainkan sebagai peristiwa iman yang kadang dibawa dalam doa malam agar kemakmuran negeri hanya dinikmati dalam mimpi.
Persepsi tentang Demokrasi Zombi
Ernest memetaforakan demokrasi di Indonesia sebagai zombie. Semacam mayat hidup yang jalan tanpa arah karena tanpa jiwa, tanpa kesadaran. Dalam imajinasi modern, zombie dipahami sebagai hidup yang bertualang tanpa arah, bergerak bukan oleh kehendak, tetapi oleh insting menghancurkan. Ernest menyiang ealitas demokrasi Indonesia dengan mengatakan bahwa demokrasi Indonesia sebagai zombie, sebuah demokrasi yang berjalan tanpa kesadaran, tanpa arah, dan tak mempunyai hati nurani.
Pada permukaan, demokrasi zombie tampak mentereng, hidup secara prosedural, tetapi di kedalamannya mati secara moral. Demokrasi yang kehilangan rasa kemanusiaan, lantaran dibajak oleh antek-antek oligarki di meja birokrasi yang terbuat dari desah penderitaan rakyat. Ernest Holivil menatap tubuh demokrasi Indonesia sebagai struktur yang berjalan justeru ditentukan oleh libido berkuasa. Dan di sanalah birokrasi menjadi korporasi untuk menangguk laba.
Toh, siapapun yang berkuasa akan menjadikan korupsi sebagai mata pencaharian dan sistem demokrasi kompromi menjadi ladang untuk menanam benih mentalintas rente itu. Ilmuwan Politik Inggris Colin Crouch menggambarkan keadaan itu secara cerdas. Menurutnya, meski demokrasi masih memiliki bentuk pemilu, partai, institusi, tetapi rohnya sudah hilang karena dikendalikan elite dan oligarki. Persis zombie yang dimetaforakan Ernest Holivil dengan gambaran “mayat hidup” dimana struktur terawat untuk melanggengkan kompromi yang tak lain sindikat itu. Korupsi dan nepotisme beroperasi dengan perangai predator.
Kebiasaan dan Kepasifan Masyarakat
Tidak dipikirkan dampaknya, hanya dilakukan. Keadaan itu, tidak lagi persoalan bangsa, tetapi dipandang sebagai panorama sosial. Pada level itu, masyarakat yang ditimbuni narasi-narasi manis perlahan menerima penyimpangan sebagai hal normal. Pada akhirnya ikut mati rasa, malah rasa mati. Rakyat seakan disodomi oleh zombie, oleh sistem demokrasi kompromi. Mereka pun tidak marah, tidak menentang, dan pasrah.
Demokrasi zombie melahirkan warga yang apatis dan menciptakan mayat sosial yang pada akhirnya menerima kemiskinan sebagai bagian dari karya Tuhan sebelum akhir zaman. Dalam alusi Francis Fukuyama tentang “political decay”, yang kehilangan integritas, maka demokrasi hidup di atas tanah kubur. Beberapa opini satir Ernest Holivil di antaranya tentang bibliosida yakni pembunuhan terhadap nalar, mengeksekusi terhadap pikiran yang berani bertanya.
Dengan kata lain, di negeri ini keberanian berpikir digelandang seperti kriminal, sementara buku-buku dirampas dan dihapus dari ingatan publik, seolah buku dan wacana adalah bedil yang harus dilumpuhkan sebelum menerjang dinding oligarki. Pembunuhan itu dilakukan “dari dalam” (kesadaran), halus, nyaris tak terasa, dilakukan dengan tangan-tangan resmi yang tersenyum sambil memadamkan cahaya kekritisan.
Kehilangan Intelektual Kritis
Padahal, negara ini dibangun di atas bahu para pemikir kritis, Soekarno, Syahrir, Tan Malaka, Hatta, dan sekian banyak pemikir yang hidup karena pertanyaan terhadap keadaan. Namun kini, institusi yang seharusnya menjadi penjaga gerbang pengetahuan justru menutup jalan ziarah intelektual, menyebabkan pemikiran kritis terasing seperti peziarah tanpa teluk yang dituju. Dalam suasana ini, virus zombieisme menjalar pelan, mengepung masyarakat dan digiringnya agar berjalan tanpa kesadaran, mengangguk dan tunduk melulu.
Dan Ernest, dalam tulisannya, menangkap bagaimana pemerintah terbahak-bahak dalam sebuah demokrasi kompromi yang melorotkan dan memelaratkan moral. Kecuali kontruksi oligarki yang terus diperkokoh melalui demokrasi kompromi itu. Begitulah epik negeri ini. Kadang terasa seperti buku tebal yang perlahan dibakar dan halaman-halaman masa depan disobek diam-diam, dan suara para pemikir mulai sayup dan pada akhir episode hanya menjadi zombie intelektual.
Kampus sebagai Ruang Kematian Pemikiran Kritis
Ernest melihat gejala mual yang melumat para pemikir di perguruan tinggi. Bayangkan, sebuah kampus yang dulu menjadi ufuk menerbitkan matahari pemikiran kritis, kini lebih mirip ruang duka atas kematian pemikiran kritis. Di sana, para pemikir kampus, lebih banyak mampus dan maksimal hanya menjadi kompos. Dosen-dosen tampak sibuk mengelus-elus pikiran sendiri, beronani intelektual, memoles teori begitu bersemangat seolah dunia sedang menonton, padahal dunia di luar jendela kampus berlumuran persoalan sosial yang sangat memerlukan uluran tangan akademis untuk membukakan pintu outlet-nya (jalan keluar).
Mereka kehilangan magnetika moral, hilang dorongan untuk menurunkan pikiran ke tanah dan memutilasi persoalan rakyat ke ruang kuliah. Pramoedya Ananta Toer sebagaimana dikutip Ernest menyebutnya mentalitas blanko, jiwa yang telah hilang isinya, selembar kertas kosong yang begitu bangga karena tidak ternodai oleh keberpihakan kepada rakyat.
Tragedi Kaum Intelektual
Dalam kondisi demikian, teringat seruan Filsuf Perancis Julien Benda dalam La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual). Menurut Benda, sebuah tragedi ketika kaum intelektual meninggalkan tugas sucinya untuk menjaga nilai universal, lalu memilih berlutut pada kepentingan kekuasaan, pada nafsu partai, pada godaan pasar, pada tepuk tangan sesama. Julien Benda sedang mengingatkan kita bahwa ketika kaum intelektual tidak membela kebenaran dan mulai membela kepentingannya kekuasaan, maka mereka menjelma sebagai penjual obat nyamuk.
Dalam urusan itu, Ernest mengingatkan masyarakat tentang politik impunitas dan normalisasi korupsi. Dua racun yang kini disajikan seperti menu makan siang nasional. Sebab, mesin abolisi bekerja seperti memenggal keadilan sosial. Mematikan jentik-jentik nurani sebelum sempat menetas menjadi keberanian moral.
Satir tentang Kasus Korupsi
Dalam satirnya, Ernest menggambarkan kasus-kasus yang menyuplai paradoks tokoh-tokoh seperti “Hasto” dan “Tom Lembong” digambarkan sebagai figur yang oleh penegak hukum dinyatakan bersalah, namun, segera dibersihkan oleh sapu tangan abolisi, suatu keputusan politik tingkat tinggi. Dalam tatapan Ernest, abolisi semacam itu tampak seperti ritual kuno yang menghidupkan karakter zombie, abolisi berjalan tanpa rasa bersalah.
Sementara seorang warga kecil yang hanya mengambil kayu bakar di kebun tetangga sekadar untuk menghangatkan nasibnya yang malang melulu dipenjara sampai pintu sejarah dibuka oleh waktu untuk membebaskannya. Ketimpangan ini, justeru membuka pintu aula birokrasi untuk melakukan korupsi secara bergotong royong, walau bukan karena keinginan, melainkan karena sistem dibentuk untuk menghidupan benih-benih mentalitas rente tadi.
Negeri yang Berdiri Bagai Istana yang Penuh Lebah
Dalam epiknya yang getir, Ernest memotret negeri yang berdiri bagai istana yang penuh lebah. Lebah-lebah itu akan menyerang siapaun demi melindungi mad. Dalam konteks itulah masyarakat lebih banyak hidup dalam ilusi dan sering mengigau tentang kesejahteraan. Sebaliknya, para koruptor bersengkokol dengan korporasi oligarki menikamati abolisi, hukum seolah hanya bekerja ketika pelakunya rakyat miskin.
Film film horror zombie, di mana suara-suara jujur hancur dan dihancurkan sebelum mencapai ruang perjamuan kekuasaan dan nalar kritis diperlakukan seperti penyusup di pesta oligarki sehingga harus disteril dengan biblidosida. Karena itu, menurut Ernest, negara ini bukan sedang kekurangan intelektual kritis, melainkan sedang kelebihan penonton yang pasrah terhadap keadaan.
Mimpi Buruk Politik dalam Lipatan Kain Kafan Zombieisme
Inilah mimpi buruk politik dalam lipatan kain kafan zombieisme. Demokrasi kompromi menjadi sindikat oligarki. Sementara rakyat menanak realitas dengan air mata dan menyusui bayi-bayi dengan angin yang datang dari selatan. Saya pun berhenti menulis, tiba-tiba pena jatuh dari tangan, dihantam oleh keharuman sebuah lagu seorang ibu separuh baya yang menggelinding lesung ke sudut rumah.
Sebab, tak ada lagi yang ditumbuk, atau sekadar menumbuk janji yang tak pernah berubah menjadi beras. Ia bernyanyi lagu Pance Pondaag.
Berkali sudah kupendamkan kecewaku
Seringk kau tinggalkan diriku sendiri
Kesetiaan ini bukanya sandiwara
Berkorban untukmu walau kadang kecewa.
0 Response to "Kritik: Mimpi Buruk Politik di Balik Kain Kafan Demokrasi Zombie"
Posting Komentar