Keberadaan Azmi Bahron di Ladaya: Sebuah Ritual Seni yang Menggugah
Di tengah kabut yang masih menggelayut di hutan wisata Ladaya, Kutai Kartanegara, sosok Azmi Bahron muncul sebagai figur yang memikat perhatian. Dengan rambut pirang pucat dan langkah yang pelan, ia tampak seperti sedang mencari sesuatu yang hilang. Azmi adalah seorang performer asal Malaysia yang tiba lebih awal dibandingkan seluruh penampil mancanegara dalam Lanjong Art Festival (LAF) 2025 yang berlangsung pada 22-27 Agustus silam.
Ketika penampil lain baru saja menjejakkan kaki beberapa hari sebelum waktu pentas, Azmi sudah lebih dulu menetap di Ladaya. Ia menyedot udara lembab hutan, menafsirkan sunyi, dan… “mencari kantin,” begitu alasan setiap kali Kabar Priangan memergokinya mondar-mandir sendirian.
Pagi itu, sebelum matahari naik sempurna, Kabar Priangan mengajaknya berkeliling area festival. Di antara instalasi artistik, kami berlabuh di dapur Kang Are, sebuah gudang sederhana tempat segala properti dan kerja artistik dirakit. Aroma cat, kayu, dan surabi hangat bercampur menjadi satu. Sambil menikmati sepotong surabi yang mulai dingin, Azmi membuka cerita tentang lakon yang sedang ia siapkan.
Monolog "Ju dan Meo, Cinta Agung Melayu"
Azmi mengisahkan bahwa ia membawa sebuah monolog berjudul “Ju dan Meo, Cinta Agung Melayu”—adaptasi surealis dari tragedi klasik Romeo and Juliet karya Shakespeare. Namun kali ini, kisah itu digugat, dibalik, dan ditarik ke semesta yang lebih Melayu, lebih liar, dan lebih personal.
“Publik sudah 500 tahun dibohongi kisah cinta abadi Romeo dan Juliet,” ujarnya sambil tertawa kecil dengan bahasa Melayu bercampur Inggris, karena terkadang komunikasi kami terkendala tafsir bahasa.
Ia menjelaskan bahwa dalam tafsirnya, Juliet—yang ia sebut Ju—merasa dikhianati karena Romeo alias Meo pernah mencintai Rosalin, sepupu Ju sendiri. Sesuatu yang memang termaktub dalam teks Shakespeare, tetapi jarang diperbincangkan.
Di panggung, Azmi ingin memberi suara pada kemarahan Ju. Ini bukan sekadar adaptasi; ini revolusi cinta baru, sebuah upaya membongkar mitos keabadian cinta yang dibangun lewat tragedi.

Ritual Penampilan Azmi: Jubah Putih dan Make Up Gotik
Penampilan Azmi pada 24 Agustus 2025 terasa seperti sebuah ritual. Ia muncul dengan jubah dan pakaian serba putih, wajahnya dipulas make up gotik yang mempertegas ketegangan antara kesucian dan kegelapan. Rambut blonde-nya yang biasa tertutup topi dibiarkan terlihat, memantulkan cahaya lampu.
Di awal pertunjukan, ia berdialog dengan penonton menggunakan campuran Bahasa Melayu dan Bahasa Inggris, bertanya ringan, “Siapa di sini kenal Romeo?” Lalu perlahan ia menaiki level bertingkat seperti tangga—ruang yang merepresentasikan memori, jarak, dan kedalaman luka Ju.
Setiap langkahnya terasa berat, bukan hanya karena tuntutan artistik, tetapi juga karena sesuatu yang tak ia sembunyikan: jejak penyakit lama yang mengubah hidupnya.
Jejak Luka 2016: Ketika Gelap Mengambil Separuh Tubuhnya
Azmi adalah sosok yang telah lama bersinggungan dengan dunia pertunjukan. Ia tampil di LAF 2015, aktif dalam jaringan APPAN, dan pernah berkarya di Yogyakarta di bawah arahan maestro tari Didi Nini Towok.
Namun tahun 2016 adalah tahun kegelapannya. Ia diserang ensefalitis, mengakibatkan kelumpuhan sebagian tubuhnya. Sisa-sisa kelemahan itu masih tampak pada caranya melangkah—pelan, tertinggal beberapa langkah ketika kami menelusuri hutan Ladaya.
Tetapi barangkali justru dari pengalaman itu, suaranya di panggung menjadi lebih dalam. Monolognya bukan hanya karya estetis; ia adalah kesaksian hidup, retakan tubuh yang menjelma cahaya.
Eksperimen AI: Dari Konsep Panggung Hingga Tata Cahaya
Yang membuat karya Azmi berbeda di LAF tahun ini adalah keberanian bereksperimen dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Naskah “Ju dan Meo” ditulis oleh Nur Ahmad, yang bersama Azmi menggunakan AI untuk:
- membuat konsep pemanggungan
- membayangkan kemungkinan artistik
- memproyeksikan skenario visual
- merumuskan tata cahaya yang adaptif terhadap suasana adegan
Azmi memperlakukan AI bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai alat kolaboratif, seperti berdiskusi dengan “roh lain” dalam proses kreatifnya.
“AI membantu saya melihat kemungkinan yang tak terpikir sebelumnya,” tuturnya.
“Tapi tetap, rasa manusia yang menentukan arah.”
Eksperimen ini menempatkan Azmi dalam arus baru praktik seni pertunjukan dunia.
Seniman Dunia yang Pernah Bereksperimen dengan AI
Fenomena penggunaan AI dalam seni pertunjukan bukan hal baru. Beberapa seniman dan kelompok seni internasional sudah lebih dulu menjelajahinya, meski dengan pendekatan berbeda:
-
Wayne McGregor (Koreografer – Inggris): McGregor bekerja sama dengan para ilmuwan untuk membuat AI yang mempelajari pola gerak tubuhnya, lalu menghasilkan rangkaian gerak baru untuk karya-karya tari seperti Atomos. Hasilnya: koreografi yang tak bisa diciptakan manusia—pola tubuh yang aneh, tak terduga, tetapi memikat.
-
Refik Anadol (Media Artist – Turki/AS): Anadol menggunakan AI untuk mengolah data menjadi visual imersif, seperti dalam Machine Hallucinations. Hasilnya: instalasi raksasa yang tampak seperti dunia mimpi, data yang “berhalusinasi”.
-
Kris Verdonck & A Two Dogs Company (Belgia): Menggunakan AI dalam teater eksperimental untuk menghasilkan suara, transkripsi, dan reaktifitas panggung. Hasilnya: pertunjukan yang terasa seperti percakapan manusia dengan mesin—dingin tapi memukau.
-
Rimini Protokoll (Jerman): Kelompok teater dokumenter ini memakai algoritma untuk menciptakan interaksi antar penonton dan menentukan alur pertunjukan. Hasilnya: teater yang hasilnya berbeda setiap malam karena dipengaruhi pilihan penonton.
-
Imogen Heap (Musisi – Inggris): Memanfaatkan AI dan machine learning untuk menciptakan musik responsif dan interaktif. Hasilnya: komposisi yang berkembang secara real time mengikuti gerak tubuh dan suasana ruang.
Eksperimen-eksperimen ini menunjukkan bahwa AI bukan sekadar tren, tetapi sudah menjadi bagian dari perangkat kreatif global—baik sebagai inspirasi, generator ide, maupun partner kolaboratif.
Azmi Bahron: Menjahit Masa Lalu dengan Masa Depan
Di antara hutan Ladaya, dapur Kang Are, dan hiruk-pikuk LAF 2025, Azmi hadir sebagai figur yang menjahit banyak hal sekaligus: luka dan tekad, tradisi dan teknologi, mitos lama dan revolusi baru.
Pertunjukannya, “Ju dan Meo, Cinta Agung Melayu”, adalah bukti bahwa seni pertunjukan tetap mampu bergerak mengikuti zaman—bahkan ketika tubuh penciptanya membawa memori sakit yang sulit dihapus.
Azmi berdiri di panggung bertingkat itu bukan hanya sebagai Meo atau Ju, atau bahkan burung pipit yang dinyanyikannya; ia berdiri sebagai seniman yang menolak berhenti, yang menemukan hidup baru lewat eksperimen, keberanian, dan cinta yang diretas ulang.
0 Response to "Azmi Bahron dan Revolusi Cinta di Negeri Jiran: Eksperimen AI, Luka Lama, serta Monolog di Hutan Ladaya"
Posting Komentar